Nggak Selamanya ‘Tetap Semangat’ Baik untuk Mental, Begini Cara Atasi Toxic Positivity dalam Kehidupan Sehari-hari
Pernah curhat tentang masalah berat, tapi malah dibalas dengan ‘Udah, tetap semangat aja!’? Bukannya lega, justru makin sesak, kan?
Kadang,
niat baik seseorang untuk menyemangati malah bikin kita merasa nggak
dimengerti. Itulah yang disebut toxic positivity—sikap selalu bersikap positif tanpa
memberi ruang bagi emosi negatif.
Padahal di kehidupan sehari-hari emosi negatif sebenarnya
wajar untuk
menjaga keseimbangan kesehatan mental kamu.
Pasalnya, apabila terus-terusan
mendengar kalimat positif
bisa bikin kita merasa bersalah hanya karena merasa sedih.
Lalu,
bagaimana cara menghindari toxic positivity tanpa kehilangan semangat hidup?
Yuk, simak ulasannya di
bawah ini!
Apa Itu Toxic Positivity?
![]() |
Freepik.com/freepik |
Toxic positivity - sikap yang terlalu mengedepankan hal-hal positif sampai mengabaikan emosi negatif seseorang.
Hal semacam ini bisa saja terjadi kamu maupun orang
lain memaksakan diri untuk tetap berpikir positif
dalam segala situasi, tanpa memberikan ruang bagi perasaan sedih, kecewa, marah,
atau stres yang sebenarnya wajar dirasakan.
Misalnya,
saat kamu curhat tentang masalah kerja yang bikin stres, lalu temanmu hanya
bilang, “Udah, tetap semangat aja! Pasti bisa kok.” atau “Jangan
sedih, banyak yang lebih parah daripada kamu.”
Sekilas,
ini terdengar seperti bentuk dukungan, tapi sebenarnya bisa membuat seseorang
merasa tidak dimengerti bahkan merasa bersalah karena memiliki emosi negatif.
Kenapa
Toxic Positivity bisa Berbahaya?
1. Menekan Emosi yang Seharusnya Diakui
Setiap
orang punya hak untuk merasakan semua emosi, termasuk yang negatif. Kalau kita
terus menerus ditekan untuk "tetap semangat" tanpa mengakui perasaan
sebenarnya, lama-lama emosi itu bisa menumpuk dan malah berdampak buruk bagi
kesehatan mental.
2. Membuat Orang Merasa Sendirian
Saat
seseorang mengungkapkan kesedihannya tapi malah dibalas dengan kalimat seperti,
“Jangan terlalu dipikirin, semua pasti baik-baik aja.”—itu bisa
membuatnya merasa sendirian dan enggan berbagi perasaan lagi.
3. Menyebabkan Rasa Bersalah
Toxic
positivity bisa bikin seseorang merasa bersalah karena memiliki emosi negatif.
Mereka mungkin berpikir, “Kenapa sih aku nggak bisa selalu bahagia?”
atau “Aku lemah banget karena merasa sedih.” Padahal, merasakan emosi
negatif jadi
bagian alami dari kehidupan.
4. Menghambat Proses Penyembuhan
Dalam
menghadapi kehilangan, kegagalan, atau situasi sulit lainnya, seseorang butuh
waktu untuk memproses emosinya. Jika terus dipaksa berpikir positif tanpa
benar-benar menghadapi perasaan tersebut, proses penyembuhan emosional jadi
terhambat.
Cara Mengatasi Toxic Positivity dalam Kehidupan Sehari-hari
- Berhenti Mengabaikan Perasaan
Negatif
Daripada
langsung mencoba mencari sisi positif dari setiap masalah, cobalah akui
perasaanmu terlebih dahulu. Kalau kamu sedih, izinkan diri sendiri untuk merasa
sedih. Kalau marah, akui bahwa kamu memang sedang marah. Setelah itu, baru cari
cara yang sehat untuk mengatasinya.
- Gunakan Kata-Kata yang Lebih
Validatif
Kalau
ada teman yang curhat, daripada langsung bilang “Tetap semangat ya!”
coba ganti dengan “Aku ngerti kok ini pasti berat buat kamu. Kalau butuh
teman cerita, aku ada.” Kalimat seperti ini lebih membantu karena membuat
seseorang merasa dimengerti dan diterima.
- Jangan Membandingkan Masalah
Setiap
orang punya perjuangannya masing-masing. Mengatakan “Banyak orang di luar
sana yang lebih menderita” hanya akan membuat seseorang merasa tidak berhak
atas emosinya. Ingat, kesedihan itu bukan kompetisi.
- Berlatih Self-Compassion
Self-compassion
atau kasih sayang terhadap diri sendiri adalah kunci penting untuk menghindari toxic
positivity. Daripada memaksakan diri untuk selalu bahagia, cobalah terima
kenyataan bahwa tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja. Beri diri sendiri
waktu untuk memulihkan emosi tanpa harus merasa bersalah.
- Mengenali dan Menghindari
Kalimat Toxic Positivity
Beberapa contoh kalimat yang bisa dikategorikan sebagai toxic positivity antara lain:
- "Jangan sedih, harusnya kamu bersyukur!"
- "Gitu aja kok nangis, harus lebih kuat dong."
- "Pasti ada hikmahnya, jangan dipikirin terus!"
Sebagai gantinya, gunakan kalimat yang lebih empatik seperti:
- "Aku ngerti kalau ini sulit buat kamu, nggak apa-apa kalau mau cerita."
- "Aku di sini buat dengerin kalau kamu butuh teman."
- "Aku tahu ini berat, ambil waktu yang kamu butuhkan untuk memproses semuanya."
Toxic
positivity bukan berarti kita nggak boleh berpikir positif sama sekali. Tapi,
terlalu memaksakan hal positif dalam segala situasi justru bisa berdampak buruk
bagi kesehatan mental. Kita perlu menyeimbangkan antara menerima emosi negatif
dan mencari solusi yang sehat untuk mengatasinya.
Jadi,
mulai sekarang, yuk lebih bijak dalam memberikan dukungan! Kadang, yang
seseorang butuhkan bukan kata-kata penyemangat yang terdengar manis, tapi validasi
bahwa apa yang mereka rasakan itu wajar dan nggak apa-apa untuk merasa sedih,
marah, atau kecewa.
Komentar
Posting Komentar