Ketika membaca karya Zoulfa Katouh barangkali kamu
wajib menyiapkan tisu. Sebab, air mata bisa saja menetes menjelajahi kehidupan
Salama di tengah reruntuhan kota bersejarah, Homs, Suriah.
Kalimat yang menarik perhatianku untuk terus membaca buku
ini sampai selesai
“Waktu adalah obat yang paling mujarab untuk
mengubah luka kami yang berdarah hingga menjadi bekas luka, dan tubuh mungkin
bisa melupakan trauma, kedua mata mungkin bisa belajar untuk melihat warna
sebagaimana yang terlihat, tetapi pemulihan itu tidak akan menjangkau mata,”
(hlm.202)
Identitas Buku
Judul : As Long As The Lemon Trees Grow
Penulis : Zoulfa Katouh
Penerbit: Mizan, 2023
Halaman
: 477 Halaman
Review Buku As Long As The Lemon Trees Grow Karya Zoulfa Katouh
Walau dikategorikan novel fiksi, barangkali ini
gambaran kepedihan yang dijalani masyarakat di Timur Tengah, tepatnya di
Suriah. Yup, novel ini berlatar belakang di Kota Homs, Suriah.
Di mana negeri tersebut pernah menjadi pusat dunia,
lantaran berbagai penemuan yang membangun peradaban manusia berasal dari sini.
Namun, sayangnya kota itu kini jadi reruntuhan saksi bisu kekejaman militer.
Barangkali, novel ini jadi referensi untuk memahami bagaimana
kepedihan yang dialami orang-orang akibat kekejaman perang. Sekaligus, sentuhan
romance yang cukup mendalam.
“Aku
menyadari bahwa selama lima puluh tahun penduduk Suriah telah hidup dalam
ketakutan, tidak mempercayai siapapun, dan memupuk niat memberontak di lubuk
hati yang terdalam.
Pemerintah telah merenggut segalanya dari kami, memberangus kemerdekaan
kami, dan melakukan pembantaian di Hama. Mereka berusaha memupus semanagat
kami, menyuntikkan ketakutan ke dalam diri kami, tetapi kami terus bertahan.
Pemerintah adalah luka terbuka yang memeras habis sumber daya kami demi
kepentingan mereka sendiri, untuk memuaskan keserakahan dan nafsu mereka,
tetapi kami terus bertahan.
Kami menegakkan kepala dan menanam pohon lemon sebagai lambing
pertahanan, berdoa agar jika mereka mendatangi kami, mereka akan langsung
menyarangkan sebutir peluru di kepala kami, Karena itu lebih terhormat daripada
menanti di lembah nista sistem penjara mereka,” (hlm. 102)
Alur
As Long As The Lemon Trees Grow mengisahkan kehidupan
seorang gadis bernama Salama yang berusia 19 tahun. Mahasiswi jurusan Farmasi
yang baru menjalani kehidupan pasca remaja, tiba-tiba dihadapkan dengan tragedi
pahit di kota kelahirannya.
![]() |
Dokumentasi pribadi |
Kehidupan seakan mengolok-olok Salama. Pengeboman
terjadi di mana-mana. Menghancurkan gedung-gedung, toko-toko, rumah warga. Tak
terkecuali kediamannya. Ia nyari tak terselamaatkan dengan cedera otak sekaligus
kehilangan ibunya.
Sejak itulah, Salama dipertemukan dengan Khawf. Sosok
yang menjadi pengingat sekaligus mimpi buruk baginya. Khawf ingin pergi dari
Suriah membawa Layla kakak iparnya.
Tetapi kecintaannya kepada kota Homs serta tanggung
jawab sebagai tenaga medis yang tersisa di Rumah Sakit membuatnya enggan untuk
keluar dari Suriah.
Di tengah-tengah kemelawutan ia dan Khawf, Salama
dipertemukan dengan Kenan. Laki-laki sepantaran dirinya yang punya semangat
juang untuk pembebasan Suriah.
Ia tidak angkat sejata namun berjuang memberitakan
kepada dunia tentang fakta yang terjadi di negerinya.
Melihat Kenan yang tak jauh berbeda darinya yang ingin
bertahan di Homs dan menyelamatkan pasien-pasiennya tanpa peduli pada keluarga
satu-satunya, ia jadi tersadar akan pentingnya untuk segera keluar dari Homs.
Walau untuk keluar dari Homs harus mempertaruhkan harta dan nyawanya.
Alhasil, Salama pun bertekad keluar dari Homs menuju
ke Jerman. Namun, ia harus membayar mahal apalagi bersama kakak iparnya Layla
yang tengah mengandung.
Cara ia mendapat perahu untuk keluar dari Homs pun tak
muda. Salama nekad menggadaikan moralitasnya asalkan bisa membawa Layla dengan
selamat.
Bertemu dengan Kenan memberi warna baru dalam hidupnya.
Secercah harapan kebahagiaan di tengah penderitaan hidup.
Sayangnya, Kenan tak mau keluar dari Homs. Meski begitu,
Salama terus mencoba membujuk Kenan agar ikut dengannya. Lantas bisakah Salama berhasil
keluar dari Homs ke Eropa?
***
Setelah di bawah menjelajahi kepedihan yang dialami
Salama, As Long As The Lemon Trees Grows ini juga membuat kamu berbunga-bunga.
Bagaimana tidak, ditengah riuhnya kehidupan yang dijalani Salama ternyata
pertemuannya dengan Kenan memunculkan perasaan cinta.
Perasaan yang terus-terusan ditolak Salama karena rasa
bersalah. Akankah rasa itu akan dikalahkan oleh besarnya cinta Kenan ataukah
sebaliknya?
Pada novel ini pembaca tak hanya diajak melihat
kehidupan Salama berjuang hari demi hari menyelamatkan pasien di rumah sakit.
Namun, kamu pun diantarkan pada perjalanan menggelitik perut sekaligus
mendebarkan hati.
Di sinilah muncul berbagai dialog romantis yang sedikit
menggelitik. Kenan meyakinkan Salama bahwa kebahagia bisa terlihat di mana
saja, bahkan oleh mereka yang tengah berjuang mesti tak tahu besok hidup atau
mati.
“Waktu
itu kau bertanya apakah kau akan bisa melihat warna lagi, Salama. Apakah kita
pantas melihat warna lagi.” Kenan berkata dengan tenang. “Menurutku kita bisa.
Kau bisa. Hanya ada sedikit warna dalam kematian. Dalam kesedihan. Namun ,
bukan hanya itu yang ada di dunia ini.”
“Masih
ada keindahan di sini, Salama. Masih ada kehidupan dan kekuatan di Homs. Masih
ada warna.” (hlm. 235)
Keduanya jatuh cinta dengan cara yang berbeda.
Menikmati momen bersama walau tak bisa saling bersentuhan. Namun, tatapan dan
semu di wajah mereka tergambar jelas kobaran cinta di tengah reruntuhan kota
Homs.
My Thought
Setelah menelusuri lembaran terakhir novel As Long As
The Lemon Tree Grow karya Zoulfa Katouh, semakin meyakinkan kalau aku kurang
suka dengan novel ini.
Dan semakin memperkukuh pendirian ku kalau membeli
sebuah buku jangan asal fomo di media sosial.
Alasan kenapa kurang cocok dengan novel ini. Pertama,
alurnya terlalu lambat dan terkesan mengulang peristiwa-peristiwa yang sama.
Misalnya peristiwa pengeboman, dialog memaksakan Kenan
untuk ikut keluar dari Homs, dan seputar rasa tanggung jawab ke Layla. Terus bergulir
pada hal yang sama sehingga terkesan lambat dan tidak ada pengembangan cerita.
Kedua, ekspektasi novel As Long As The Lemon Tree Grow
lebih banyak membahas perihal konflik
yang terjadi, seperti kenapa perang di sana pecah, atau paling tidak perjuangannya
menjadi tenaga medis.
Ternyata novel romance yang berlatar di Suriah. Dengan
kata lain, konflik di Suriah hanya bumbu pemanis dari kisah cinta Kenan dan
Salama.
Ketiga, hal yang cukup menyebalkan yakni ketika dua
tokoh utama ini usai mengikuti demo. Demonstrasi tentu mengundang aksi
pengeboman maupun tembakan dari pihak militer.
Setelah lolos dari kejadian tersebut, Kenan secara
tiba-tiba mengajak Salama menikah. Dan bagiku kesannya tidak realistic dan
konyol.
Aku paham, penulis berusaha menegaskan bahwa sekalipun
kita berada di tempat yang berkonflik sekalipun pasti ada harapan kebahagia.
Sayangnya, dari kacamataku terkesan memaksa.
Terlebih adegan pernikahan kedua tokoh utama. Ya,
keduanya memang jatuh cinta bahkan hendak dijodohkan tetapi masa sih kondisi
yang hectic seperti perang keduanya putuskan menikah?
Apalagi si Kenan masih memiliki dua adik, untuk
menyediakan makan sehari-hari saja sudah susah. Bagaimana ia menafkahi
keluarganya? Duh! Bener-bener ya
Bagiku, ini nggak masuk akal. Pemilihan usia tokoh pun
diluar nalar. Tidak masalah bila kedua tokoh sudah cukup dewasa. Tetapi usia
belasan tahun yang masih memikir cinta picisan rasanya nggak make sense.
Barangkali, penulis ingin menikahkan kedua agar tidak
terkesan ‘haram’ ketika dua lawan jenis bersama. Apalagi di daerah Islam, tetapi
pernikahan itu terkesan penulis hanya melegalkan adegan romantis seperti
pelukan, ciuman, dan sejenisnya.
Sekalilagi dari sudut pandang saya yang terbatas ini,
novel As Long As The Lemon Tree Grow by Zoulfa
Katouh bukan novel yang saya sukai karena banyak hal yang terkesan memaksa.
Terlepas dari itu, masih ada bagian-bagian yang
menyentuh hati. Contohnya, dialog Salama dengan Ahmad bocah enam tahun perihal
kematian. Di mana Ahmad telah siap menghadapi kematian. Bahkan dengan wajah
tersenyum.
Selain itu, peristiwa pengeboman di Rumah Sakit yang
cukup memilukan. Lansia, bayi, anak-anak, wanita, dan warga sipil lainnya jadi
korban kekejaman militer.
Korban kediktatoran penguasa selalu dan selalu warga
sipil. Akhir dari review buku ini, aku harap kita tidak saling menghardik.
Barangkali buku ini bisa jadi bacaan favorit kamu tapi
untuk tidak untuk ku. Bukan karena isinya jelek tetapi tidak sesuai dengan preferensi
pribadi.
Komentar
Posting Komentar